PENGANTAR PERUNDANGAN DALAM ISLAM

PENGANTAR PERUNDANGAN DALAM ISLAM

Sunday, 14 February 2016

KANDUNGAN HUKUM AL-QURAN DAN HADIS

Al-Quran

 Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya melalui pelantara malaikat Jibril ke dalam hati rusulallah Muhammad bin Abdullah dengan lafaz yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulallah, menjadi undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya. Hukum yang terkandung dalam al-Qur’an itu ada tiga macam, yaitu: hukum-hukum I’itiqadiyyah, hukum moralitas dan hukum amaliyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf.

 Dari klasifikasi al-Qur’an yang terbagai menjadi tiga, penulis berfokuskan pada al-Qur’an yang menyangkut hukum-hukum amaliayah. Disamping itu, hukum amaliyah terbagi menjadi dua yakni hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum muamalat. Dan disinilah penulis tekankan pada hukum-hukum muamalat khususnya tema aqad (perjanjian).

 Bahasan ini akan menitikberatkan bagaimana Al-Qur’an dalam menanggapi  permsalahan-permasalahan perjanjian pada saat ini, sehingga perjanjian yang seperti apakah yang dicita-citakan al-Qur’an.

 Asas Perjanjian dalam Hukum Islam

1. Asas Ibahah (mabda’ al-Ibahah)

Asas ibahah adalah asas umum hukum islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas
ini dirumuskan dalam andigum:
الاصل في المعاملة الاباحة حتى يدل على دليل لتحريم
Artinya: Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang melarangnya.
Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam hukum islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas: “Bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari’ah”.


2. Asas Kebebasan Beraqad (mabda’ huriyyah at-ta’aqud)

Hukum islam mengakui kebebasan beraqad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat aqad atau jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukan klausula apa saja ke dalam aqad yang dibuatnya sesuai dengan kepentinganya sejauh tidak berakibat makan harta sesame dengan batil. Namun demikian, di lingkungan madzhab-madzhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai luas-sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas Al-Qur’an dan Sunah Nabi saw. serta kaidah-kaidah hukum islam menunjukan bahawa hukum islam menganut asas kenbebasan berkontrak (aqad). Asas kenbebasan beraqad ini merupakan konkritisasi lebih jauh dari sepesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas ibadah dalam mumalat.


3. Asas Konsensualisme (mabda’ ar-radhaiyyah)

Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu.

Dalam hadis Nabi

أخبرنا الحسن بن سفيان أخبرنا سعيد بن عبد الجبار أخبرنا الدراوردي عن داود بن صالح بن دينار
 التمار عن أبيه عن أبي سعيد الخدري : أن يهوديا قدم زمن النبي صلى الله عليه و سلم بثلاثين حمل شعير وتمر فسعر مدا بمد النبي صلى الله عليه و سلم وليس في الناس يومئذ طعام غيره وكان قد أصاب الناس قبل ذلك جوع لا يجدون فيه طعاما فأتى النبي صلى الله عليه و سلم الناس يشكون إليه غلاء السعر فصعد المنبر فحمد الله وأثنى عليه ثم قال : ( لا ألقين الله من قبل أن أعطي أحدا من مال أحد من غير طيب نفس إنما البيع عن تراض ولكن في بيوعكم خصالا أذكرها لكم : لا تضاغنوا ولا تناجشوا ولا تحاسدوا ولا يسوم الرجل على سوم أخيه ولايبيعن حاضر لباد والبيع عن تراض وكونوا عباد الله إخوانا )


4. Asas Janji Mengikat



5. Asas Keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al-mu’awadhah)

Secara factual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transasksi (antara apa yang diberikan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkanya suatu aqad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha, sementara krditor bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami negatif.

6. Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan)

Asas kemaslahatan dimaksudkan bahwa aqad yang akan dibuat oleh para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian atau keadaan yang memberatkan. Apabila dalam pelaksanaan aqad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak yang bersangkutan sehingga memberatkanya, maka kewajibanya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.

7. Asas Amanah

Asas Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritiqad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang amat sepesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditansaksikan, pihak lain menjadi mitra tarnsaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya.


8. Asas Keadilan

Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum islam, keadilan langsung merupakan perintah al-qur’an (QS. 5:8). Keadilan merupakan sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman modern aqad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausula aqad tersebut, karena klausula aqad itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaanya akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong kebutuhan. Dalam hukum islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan untuk itu.


Hadis

  Hadis merupakan petunjuk dan sumber hukum kedua bagi manusia setelah al-Qur’an. Sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an hadis juga berfungsi untuk memperjelas isi kandungan dari al-Qur’an itu sendiri, selain itu hadis juga merupakan salah satu bentuk kongkrit dari tingkah laku nabi semasa hidupnya atau yang biasa disebut sunnah nabi.

  Dalam memahami teks keagamaan diperlukan berhati-hati serta teliti, dalam hal ini adalah pemahaman terhadap al-Qur’an dan Hadits. Berbeza dengan kaedah penafsiran dan pemahaman terhadap al-Qur’an, dalam memahami Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam kedua, memerlukan metode dan pendekatan yang cukup teliti. Selain itu, metodologi yang digunakan dalam penelitian sanad, juga diperlukan metodologi untuk meneliti kandungan matan.

  Hadits Nabi lebih banyak disampaikan oleh periwayat satu kepada periwayat lain secara oral (lisan) oleh karena itu hadits Nabi lebih banyak yang diriwayatkan secara makna. Selain itu tidak semua hadits nabi menunjuk kepada sebuah pengertian yang jelas sehingga sebuah hadits terkadang tidak dapat dipahami secara mudah dan sederhana.
            
 Dalam makalah ini akan dibahas hadits-hadits yang berkaitan dengan perintah maupun larangan Nabi dalam memelihara misai dan janggut beserta latar belakang yang menyokongnya.

 Penjelasan hukum hadis

Penulis melakukan takhrij al-Hadits dengan menggunakan bantuan perangkat computer [CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis'ah] pencarian hadits berdasarkan tema kandungan Hadits dengan metode Takhrij al-Hadits bi al-Alfadz,dan juga penulis menggunakan kitab Lidwa 9 Imam untuk menerjemahkan hadis-hadis  yang akan diteliti.

Untuk memudahkan pencarian di gunakan kata kunci الشوارب dan الشارب.

Setelah dilakukan Takhrij al-Hadits, ditemukan 78 Hadits bertemakan janggut maupun misai. Dengan kata as-Syawarib ditemukan 24 Hadits :

1.      Bukhori           :  hadis no.5442,5443
2.      Muslim            :  hadis no.380,381,382,383
3.      At-Tirmidzi     :  hadis no. 2687, 268
4.      An-Nasa’i        :  hadis no.15, 4959, 4960, 5131
5.      Abu Daud    : hadis no 3667

Sedangkan dengan kata as-Syarib, ditemukan 54 Hadits yang bertemakan janggut dan misai:
1.                  Bukhori                : Al-Libas 5438, 5439, 5440, 5441, Al-Isti’dzan 5823
2.                  Muslim                : Al-Thaharah 377, 378, 379, 384
3.                  Turmudzi         : Al-Adab ‘an Rasulullah 2680, 2681, 2682, 2683, 2684, 2685
4.                  An-Nasa’i        : 9,10,11,12,13,14,4289,5954,5955, 5956,5957,5958,5961,5130
5.                  Abu Dawud         : Al-Thaharah 49, Al-Dohaya 2407.
6.                  Ibn Majah            : Al-Thaharah wa Sunanuha 288, 289, 290, 291
7.                  Ahmad                 :2602,5074,5716,6287,6842,6963,7479,8953,9945,11785,12637,                      13183, 17606, 22382,23909.
8.                  Malik                  : Al-Hajj 788, 790, Al-Jami’ 1436, 1437.


Dalam lisan al-arab di jelaskan bahwa kata أَحْفُوا, إِحْفَاءِ, حُفُّوا berarti memotong. Dikatakan juga didalamnya, bahwa di dalam kitab al-Tahdzib bahwa perintah memotong tersebut dengan melekatkan potongan atau berarti menghabiskan.[3]
Dari pemetaaan kata-kata diatas jelas bahwa semua hadits menunjukkan bahwa nabi Muhammad memerintahkan untuk memotong, mencukur dan membersihkan kumis. Namun dalam redaksi as-Syarib ditemukan perintah untuk hanya memendekkan.
Berdasarkan pengamatan sekilas terhadap hadits-hadits di atas juga dapat di klasifikasikan dilihat dari tujuan dan latar belakang hadits tersebut :

Dengan teks as-Syawarib

1.      Perintah  mencukur kumis dan memelihara jenggot.
2.      Mencukur kumis dan memelihara jenggot sebagai bentuk penanda (ciri) ummat Islam dan upaya untuk tidak menyerupai ummat Yahudi dan Nasrani.
3.      Mencukur kumis dan memelihara jenggot sebagai bentuk penanda(ciri) ummat Islam dan upaya untuk tidak menyerupai orang-orang Musyrik.
4.      Mencukur kumis dan memelihara jenggot sebagai upaya pembedaan antara Muslim orang Majusi.

Contoh Hadis:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ

(BUKHARI - 5442) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami Umar bin Muhammad bin Zaid dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Selisihilah orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian." Sedangkan apabila Ibnu Umar berhaji atau Umrah dia memegang jenggotnya dan memotong selebihnya."


Analisis pemakalah:

Walaupun hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis. Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu hanya berlaku manakala perintahnya tegas.
Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka itu tidak boleh di maksudkan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.
Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir”.
Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.
Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat.


Sementara itu dengan kata asy-Syarib
1.Sebagian dari Fitrah adalah mencukur misai.
     2. Lima dari Fitrah adalah mencukur misai
     3. Sepuluh dari Fithrah adalah mencukur misai
    4.Orang yang tidak mencukur misainya maka bukan termasuk golongan                 islam.

     5.Hadits dari shahabat tentang manusia pertama yang mencukur misai adalah Ibrahim.

No comments:

Post a Comment