Al-Quran
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan
oleh-Nya melalui pelantara malaikat Jibril ke dalam hati rusulallah Muhammad
bin Abdullah dengan lafaz yang berbahasa Arab dan makna-maknanya yang benar,
untuk menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulallah, menjadi
undang-undang bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan menjadi qurbah di
mana mereka beribadah dengan membacanya. Hukum yang terkandung dalam al-Qur’an
itu ada tiga macam, yaitu: hukum-hukum I’itiqadiyyah, hukum moralitas dan hukum
amaliyah yang bersangkut paut dengan sesuatu yang timbul dari mukallaf.
Dari klasifikasi al-Qur’an yang terbagai
menjadi tiga, penulis berfokuskan pada al-Qur’an yang menyangkut hukum-hukum
amaliayah. Disamping itu, hukum amaliyah terbagi menjadi dua yakni hukum-hukum
ibadah dan hukum-hukum muamalat. Dan disinilah penulis tekankan pada
hukum-hukum muamalat khususnya tema aqad (perjanjian).
Bahasan ini akan menitikberatkan bagaimana
Al-Qur’an dalam menanggapi
permsalahan-permasalahan perjanjian pada saat ini, sehingga perjanjian
yang seperti apakah yang dicita-citakan al-Qur’an.
Asas Perjanjian dalam Hukum Islam
1.
Asas Ibahah (mabda’ al-Ibahah)
Asas
ibahah adalah asas umum hukum islam dalam bidang muamalat secara umum. Asas
ini
dirumuskan dalam andigum:
الاصل في
المعاملة الاباحة حتى يدل على دليل لتحريم
Artinya:
Pada asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang
melarangnya.
Asas
ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam masalah ibadah. Dalam
hukum islam, untuk tindakan-tindakan ibadah berlaku asas: “Bentuk-bentuk ibadah
yang sah adalah bentuk-bentuk yang disebutkan dalam dalil-dalil syari’ah”.
2. Asas
Kebebasan Beraqad (mabda’ huriyyah at-ta’aqud)
Hukum
islam mengakui kebebasan beraqad, yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan
bahwa setiap orang dapat membuat aqad atau jenis apapun tanpa terikat kepada
nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-undang syari’ah dan memasukan klausula
apa saja ke dalam aqad yang dibuatnya sesuai dengan kepentinganya sejauh tidak
berakibat makan harta sesame dengan batil. Namun demikian, di lingkungan
madzhab-madzhab yang berbeda terdapat perbedaan pendapat mengenai
luas-sempitnya kebebasan tersebut. Nas-nas Al-Qur’an dan Sunah Nabi saw. serta
kaidah-kaidah hukum islam menunjukan bahawa hukum islam menganut asas
kenbebasan berkontrak (aqad). Asas kenbebasan beraqad ini merupakan
konkritisasi lebih jauh dari sepesifikasi yang lebih tegas lagi terhadap asas
ibadah dalam mumalat.
3. Asas
Konsensualisme (mabda’ ar-radhaiyyah)
Asas
konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu perjanjian cukup dengan
tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya
formalitas-formalitas tertentu.
Dalam
hadis Nabi
أخبرنا
الحسن بن سفيان أخبرنا سعيد بن عبد الجبار أخبرنا الدراوردي عن داود بن صالح بن دينار
التمار عن أبيه عن أبي سعيد الخدري : أن يهوديا قدم
زمن النبي صلى الله عليه و سلم بثلاثين حمل شعير وتمر فسعر مدا بمد النبي صلى الله
عليه و سلم وليس في الناس يومئذ طعام غيره وكان قد أصاب الناس قبل ذلك جوع لا يجدون
فيه طعاما فأتى النبي صلى الله عليه و سلم الناس يشكون إليه غلاء السعر فصعد المنبر
فحمد الله وأثنى عليه ثم قال : ( لا ألقين الله من قبل أن أعطي أحدا من مال أحد من
غير طيب نفس إنما البيع عن تراض ولكن في بيوعكم خصالا أذكرها لكم : لا تضاغنوا ولا
تناجشوا ولا تحاسدوا ولا يسوم الرجل على سوم أخيه ولايبيعن حاضر لباد والبيع عن تراض
وكونوا عباد الله إخوانا )
4. Asas
Janji Mengikat
5.
Asas Keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al-mu’awadhah)
Secara
factual jarang terjadi keseimbangan antara para pihak dalam bertransaksi, namun
hukum perjanjian islam tetap menekankan perlunya keseimbangan itu, baik
keseimbangan antara apa yang diberikan dan apa yang diterima maupun
keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transasksi (antara
apa yang diberikan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkanya suatu aqad
yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas keseimbangan
dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap transaksi riba, di mana
dalam konsep riba hanya debitur yang memikul segala risiko atas kerugian usaha,
sementara krditor bebas sama sekali dan harus mendapat prosentase tertentu
sekalipun pada saat dananya mengalami negatif.
6.
Asas Kemaslahatan (tidak memberatkan)
Asas
kemaslahatan dimaksudkan bahwa aqad yang akan dibuat oleh para pihak bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak boleh menimbulkan kerugian
atau keadaan yang memberatkan. Apabila dalam pelaksanaan aqad terjadi suatu
perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui sebelumnya serta membawa kerugian
yang fatal bagi pihak yang bersangkutan sehingga memberatkanya, maka
kewajibanya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.
7. Asas
Amanah
Asas
Amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak haruslah beritiqad baik dalam
bertransaksi dengan pihak lainya dan tidak dibenarkan salah satu pihak
mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam kehidupan masa kini banyak sekali
objek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang
amat sepesialis dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditansaksikan,
pihak lain menjadi mitra tarnsaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh
karena itu, ia sangat bergantung kepada pihak yang menguasainya.
8. Asas
Keadilan
Keadilan
adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua hukum. Dalam hukum islam,
keadilan langsung merupakan perintah al-qur’an (QS. 5:8). Keadilan merupakan
sendi setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sering kali dizaman modern
aqad ditutup oleh satu pihak dengan pihak lain tanpa ia memiliki kesempatan
untuk melakukan negosiasi mengenai klausula aqad tersebut, karena klausula aqad
itu telah dibakukan oleh pihak lain. Tidak mustahil bahwa dalam pelaksanaanya
akan timbul kerugian kepada pihak yang menerima syarat baku itu karena didorong
kebutuhan. Dalam hukum islam kontemporer telah diterima suatu asas bahwa demi
keadilan syarat baku itu dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan
untuk itu.
Hadis
Hadis merupakan petunjuk dan
sumber hukum kedua bagi manusia setelah al-Qur’an. Sebagai sumber hukum setelah
al-Qur’an hadis juga berfungsi untuk memperjelas isi kandungan dari al-Qur’an
itu sendiri, selain itu hadis juga merupakan salah satu bentuk kongkrit dari
tingkah laku nabi semasa hidupnya atau yang biasa disebut sunnah nabi.
Dalam memahami teks keagamaan
diperlukan berhati-hati serta teliti, dalam hal ini adalah pemahaman terhadap
al-Qur’an dan Hadits. Berbeza dengan kaedah penafsiran dan pemahaman terhadap
al-Qur’an, dalam memahami Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam kedua,
memerlukan metode dan pendekatan yang cukup teliti. Selain itu, metodologi yang
digunakan dalam penelitian sanad, juga diperlukan metodologi untuk meneliti
kandungan matan.
Hadits Nabi lebih banyak
disampaikan oleh periwayat satu kepada periwayat lain secara oral (lisan) oleh
karena itu hadits Nabi lebih banyak yang diriwayatkan secara makna. Selain itu tidak
semua hadits nabi menunjuk kepada sebuah pengertian yang jelas sehingga sebuah
hadits terkadang tidak dapat dipahami secara mudah dan sederhana.
Dalam makalah ini akan dibahas
hadits-hadits yang berkaitan dengan perintah maupun larangan Nabi dalam
memelihara misai dan janggut beserta latar belakang yang menyokongnya.
Penjelasan hukum hadis
Penulis melakukan takhrij al-Hadits dengan menggunakan
bantuan perangkat computer [CD Mausu'ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub al-Tis'ah]
pencarian hadits berdasarkan tema kandungan Hadits dengan metode Takhrij al-Hadits bi
al-Alfadz,dan juga penulis menggunakan kitab Lidwa 9 Imam untuk menerjemahkan
hadis-hadis yang akan diteliti.
Untuk memudahkan pencarian di gunakan kata kunci الشوارب dan الشارب.
Setelah dilakukan Takhrij al-Hadits, ditemukan 78 Hadits
bertemakan janggut maupun misai. Dengan kata as-Syawarib ditemukan 24
Hadits :
1. Bukhori : hadis
no.5442,5443
2. Muslim : hadis
no.380,381,382,383
3. At-Tirmidzi : hadis
no. 2687, 268
4. An-Nasa’i : hadis
no.15, 4959, 4960, 5131
5. Abu Daud : hadis no 3667
Sedangkan dengan kata as-Syarib, ditemukan 54 Hadits yang bertemakan janggut dan
misai:
1.
Bukhori
: Al-Libas
5438, 5439, 5440, 5441, Al-Isti’dzan 5823
2.
Muslim
: Al-Thaharah 377,
378, 379, 384
3.
Turmudzi : Al-Adab ‘an Rasulullah 2680, 2681, 2682,
2683, 2684, 2685
4.
An-Nasa’i : 9,10,11,12,13,14,4289,5954,5955,
5956,5957,5958,5961,5130
5.
Abu Dawud :
Al-Thaharah 49, Al-Dohaya 2407.
6.
Ibn Majah
: Al-Thaharah
wa Sunanuha 288, 289, 290, 291
7.
Ahmad :2602,5074,5716,6287,6842,6963,7479,8953,9945,11785,12637, 13183, 17606, 22382,23909.
8.
Malik
: Al-Hajj 788, 790,
Al-Jami’ 1436, 1437.
Dalam lisan al-arab di jelaskan bahwa kata أَحْفُوا, إِحْفَاءِ, حُفُّوا berarti memotong. Dikatakan juga didalamnya, bahwa di dalam kitab al-Tahdzib bahwa
perintah memotong tersebut dengan melekatkan potongan atau berarti
menghabiskan.[3]
Dari pemetaaan kata-kata diatas jelas bahwa semua hadits
menunjukkan bahwa nabi Muhammad memerintahkan untuk memotong, mencukur dan
membersihkan kumis. Namun dalam redaksi as-Syarib ditemukan perintah untuk
hanya memendekkan.
Berdasarkan pengamatan sekilas terhadap hadits-hadits di
atas juga dapat di klasifikasikan dilihat dari tujuan dan latar belakang hadits
tersebut :
Dengan teks as-Syawarib
1. Perintah mencukur
kumis dan memelihara jenggot.
2. Mencukur
kumis dan memelihara jenggot sebagai bentuk penanda (ciri) ummat Islam dan
upaya untuk tidak menyerupai ummat Yahudi dan Nasrani.
3. Mencukur
kumis dan memelihara jenggot sebagai bentuk penanda(ciri) ummat Islam dan upaya
untuk tidak menyerupai orang-orang Musyrik.
4. Mencukur
kumis dan memelihara jenggot sebagai upaya pembedaan antara Muslim orang
Majusi.
Contoh Hadis:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا
فَضَلَ أَخَذَهُ
(BUKHARI - 5442) : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Minhal
telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami
Umar bin Muhammad bin Zaid dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam beliau bersabda: "Selisihilah orang-orang musyrik,
panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian." Sedangkan apabila Ibnu
Umar berhaji atau Umrah dia memegang jenggotnya dan memotong selebihnya."
Analisis pemakalah:
Walaupun
hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut
menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis.
Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah
itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar
sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih
memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu
hanya berlaku manakala perintahnya tegas.
Dari alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah
Nabi Muhammad SAW itu tidak murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan
kebiasaan atau adat istiadat. Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki
keterkaitan dengan adat, maka itu tidak boleh di maksudkan dengan wajib. Hukum
yang muncul dari perintah itu adalah sunnah atau bahkan mubah.
Jika dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits
tersebut berbicara dalam konteks perintah untuk tampil berbeda dengan
orang-orang musyrik. Imam al-Ramli menyatakan, “Perintah itu bukan karena
jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa mencukur jenggot itu menyerupai orang
kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya
sama seperti mencela orang kafir”.
Atas dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah
berpendapat bahwa memelihara jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak
wajib. Oleh karena itu tidak ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya.
Apalagi bagi seorang yang malah hilang ketampanan dan kebersihan serta
kewibawaannya ketika ada jenggot di wajahnya. Misalnya apabila seseorang
memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot
yang tumbuh hanya sedikit.
Adapun pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu
kewajiban adalah tidak memiliki dasar yang kuat.
Sementara itu dengan
kata asy-Syarib
1.Sebagian dari Fitrah adalah mencukur misai.
2. Lima
dari Fitrah adalah mencukur misai
3. Sepuluh
dari Fithrah adalah mencukur misai
4.Orang yang
tidak mencukur misainya maka bukan termasuk golongan islam.
5.Hadits dari shahabat tentang
manusia pertama yang mencukur misai adalah Ibrahim.
No comments:
Post a Comment